Thursday, February 14, 2008

Valentine

Wah aku sakit pas Valentine. Jadi nggak ada mood buat nulis apa2. Happy Valentine, Love!

Wednesday, February 13, 2008

Batik pertamaku

Pertemuanku dengan Mbak Ita berlanjut di kelas membatik. Frankly speaking, aku bukanlah pecinta batik. Di lemari bajuku hanya ada satu baju batik plus beberapa kain dan selendang. Selebihnya polos. Dan kebanyakan warna putih, termasuk kebayaku.


Aku ikut kelas ini untuk terapi agar bisa mencintai sesuatu yang repetitif. Masalah dalam hidupku adalah tidak tahan kalau melakukan pekerjaan repetitif dan selama ini aku beruntung bisa menghindarinya. Nah, just in case aku nggak bisa lagi menghindari pekerjaan repetitif (kata Anna, temanku yang psikolog, sex life suami isteri itu juga repetitif lho hehehe...), maka aku coba deh melihat repetitif itu sebagai challenge.


Mulailah aku membatik hari Selasa, minggu lalu. Tahu akan keterbatasanku, aku memilih bahan selebar serbet makan sebagai wilayah batikanku. Pertama, aku menggambar desain batik. Sebagai pemula, aku melakukan tracing desain dengan neon box. Kemudian mulai belajar memegang canting, memasukkan malam ke dalam cantik, dan mulai membatik. Benny, sang instruktur, dengan sabar melihat tanganku yang gemetaran menarik garis dengan cantik di atas kain. Aku mesti konsentrasi penuh nih. Menjaga agar malam di canting tidak tumpah sambil terus membatik. Sang tangan lama2 rileks, tidak lagi bergetar. Aku pun langsung mengisi area kosong dengan isen-isen (isi), yang bentuknya lebih bervariasi. Ada titik, garis, keong, dsb.


Kira2 dua jam, selesai sudah batikku. Aku perlihatkan hasilnya ke Benny.
“Wow...buat pemula rapih banget dan nggak tumpah2 malamnya,” katanya.
Aku tersanjung sekali.
“Wah...kamu rapih banget... bener nggak belepotan. Aku waktu pertama kali nggak karu2an lho,” timpal Mbak Ita. Mungkin sebagai apresiasi keberhasilanku.
Aku tersenyum.
“Anteng dia kerjanya,” kata mbak Mira, salah satu murid di sana.
Aku bangga dengan diriku. Usahaku nggak sia2. Aku bisa menaklukkan rasa bosanku. Lagi seneng2nya, Benny mengembalikan kain batik itu kepadaku.
“Nah...sekarang baliknya,” kata Benny.
“Apaaaaaaaaaa???,” kataku sambil (aku yakin) mataku terbelalak. Busyet deh...batinku.
“Baliknya juga???,” kalimat tanyaku lebih terdengar sebagai protes.
“Iya, biar kalau dicelup nanti warna malamnya muncul dan rata semua,” jawab Benny kalem.
“Wah...aku mesti berjuang lagi nih. Kirain udah menang hahaha,” aku ketawa geli.
Aku menengok ke Mbak Ita yang sedang membatik selendang keduanya.
“Nggak frustasi, mbak?” Aku cari teman nih hehehe...
“Nggak, ini kan upayaku berdamai dengan diri sendiri. Biar sabar,”, katanya
Aha... ternyata banyak alasan orang belajar membatik. Kirain aku aja yang punya agenda terselubung dengan membatik.


Aku melihat Erick, instruktur juga (ada dua instruktur di sana), membentangkan kain batik buatannya di depanku. Desain mainan natal. Bentuknya bulat2 semua tapi tidak ada satupun yang isen-isennya (isi dalam buletan) sama.
“Wow...berapa lama kamu ngerjain itu, Rick?”
“Aku ngerjainnya nyambi aja kok, mbak. Kira2 setahun lah selesai,” jawabnya
“Wah kalau aku bisa seumur hidup tuh,” kataku sambil terus menatap batiknya yang sudah memakai teknik tinggi itu. Depan dan belakang nggak sama lho...hebat ya!!!


Akhirnya, sebagai murid aku pasrah. Aku mulai membatik sisi belakang dari serbetku. Bisakah aku menyelesaikan semuanya? Hayo tebaaaak!
“Erick... belakangnya tinggal sedikit. Tinggal bikin tapak macan nih dan aku bosan. Bosan beneran. Dibantuin guru boleh nggak?” tanyaku sambil senyum2 meminta belas kasihan guru.
Erick menghampiriku: “Tinggal dikit lho, mbak.”
“Biar dikit kalau bosan gimana?” kataku datar.
“Oke deh... guru membantu murid,” katanya lucu.
Akhirnya selesailah proses membatik. Lanjut ke proses pencelupan. Aku hanya boleh memilih satu warna. Dan aku memilih biru tua. Trus kain direbus. Terakhir dijemur.

“Kalau mau beberapa warna, setelah dijemur kain harus dibatik lagi. Kita membatik sebanyak berapa warna yang kita inginkan,” kata Benny.
Waduh... baru denger aja aku sudah stress. Bayangkan beberapa kali mengerjakan hal yang sama. Luar biasa!
“Pantes harga batik tulis itu juta2an ya,” kataku kagum.
Aku jadi ingat para pembatik yang pernah aku temui saat Rotary Club dijamu oleh Ibu Danarsih Santosa, pemilik Danar Hadi, di Solo. Rata2 mereka sudah sepuh. Tekun sekali mereka pastinya.
Hari sudah siang. Aku berjanji ketemu Oni di Citos, untuk membicarakan fotografi, tepatnya sharing ideku untuk portfolio fotografinya. Dengan bangga aku bawa batikku yang masih agak basah itu turun dari mobil. Oni jadi orang pertama yang aku pamerkan batikku ini. Cowok pelit pujian. Yang datang malah pertanyaan teknis, gimana cara membuat pinggirnya agar tetap berwarna putih? Alamaaaaak... aku pun menjelaskan sambil menyeruput green tea di Coffee Bean.

Sekarang serbet batikku aku tempel di pintu kulkas, bersama gambar2 buatan Caitlyn, my beloved niece. Sama2 karya pemula hahaha.... Well... aku baru menang 90% dari batik seukuran serbet makan. Aku harus menang lebih banyak lagi. Aku akan meminta Benny menyiapkan kain ukuran panjang untuk syal. Minggu depan aku akan membatik lagi. Berusaha lebih keras lagi.
Thanks to Mbak Ita, a great supporter I have ever had.